Sejarah dan sastra, adalah dua sub disiplin dalam ilmu Humaniora dan Sosial yang sangat penting bagi kehidupan. Secara arti nyata, sejarah dan sastra berbeda, tapi bisa disatukan dalam suatu hal. Anggap saja, mereka ini saling melengkapi dan saling memberikan evaluasi atau koreksi bersama.
Maksudnya adalah dalam beberapa topik, mereka bisa saling beradu pikiran, berdiskusi mengenai masalah yang terjadi, dan dikaji secara literasi mendalam maupun lihat secara historis. Saat disatukan, maka akan menemukan solusi terbaru dan cara pandang baru mengenai hal tersebut.
Seperti apa perbedaannya? Simak!
Sejarawan
Secara mutlak, sejarah bukan sastra, menurut Kuntowijoyo yang mana peristiwanya nyata dan faktual. Cerita yang sudah tersebar atau karya yang sudah dipublish dan banyak dibaca orang, sudah melalui yang namanya proses verifikasi sumber (kevalidan sumber), jadi sudah pasti nyatanya bukan dongeng.
Bisa diolah secara subjektif maupun objektif. Sejarah nantinya, akan memberikan informasi yang lugas, tegas, lengkap, dan tuntas pada bagian kesimpulannya. Sejarah dalam menyampaikan mitos, lebih ke inter subjektif.
Imu sejarah, pada masa-masa ini sudah terpengaruh dengan yang namanya postmodernisme. Postmodern sendiri, memberikan pengaruh linguistic turn (kembali ke linguistik). Epistemologi tadi memasuki ranah teori sejarah. Dari sini, sejarawan mulai merujuk pada kajian postmodernisme.
Ini semacam masalah bahasa, identitas, simbol, dan kosntruksi-konstruksi sosial yang ada. Bahasa (mungkin makna) menjadi bagian dari kajian ilmu sejarah menuurt Sjamsuddin, pada tahun 2007 silam. Bambang Purwanto, juga mengatakan bahwa kajian postmodern dianggap membantu penulisan sejarah.
Adanya citra, simbol, makna (arti), wacana, hingga perasaan, dan lain-lain mampu memberikan warna baru bagi tradisi penulisan sejarah. Dianggap, bahwa pendekatan penulisan sejarah di Indonesia yang duu, masih kurang bagus, dimana menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial/multidimensional.
Sastrawan
Sastra sendiri, adalah hasil imajinasi pengarang, dan kebanyakan seperti itu. Dalam akhir karya, sastra bisa berakhir menjadi suatu pertanyaan pada bagian kesimpulan. Untuk sastra, dalam penyampaian mitosnya, bersifat subjektif.
Bambang Purwanto berpendapat bahwa sastra itu fiksi, sedangkan sejarah itu fakta. Posisi sastra dan sejarah tidak dapat dibedakan secara mentah, antara kandungan fiksi dan fakta. Karya sastra, bisa dijadikan sumber sejarah jika sudah melalui yang namanya proses verifikasi data.
Cerita sejarah, bisa dijadikan karangan imajinatif, yang menumbuhkan atau mengimbuhkan peran yang lebih dinamis agar karya semakin terasa dan nyata. Tetapi tetap diingat, itu masuk ke dalam karya yang tidak nyata atau subjektif. Setidaknya penulis karya nanti menjelaskan isi karyanya yang tak nyata.
Adanya sastra, kita bisa mencoba berpikir lepas dan diarahkan kemana-mana demi karya yang menarik. Sastra tidak ada batasan di hal itu, selama tidak melanggar batas-batas dalam berkarya. Kuntowijoyo misalnya, bisa menulis perubahan sosial dalam bentuk novel yang tak lepas dari sumber sejarah.
Uniknya, Kuntowijoyo dalam membuat suatu karya, kebanyakan berpatok pada ajaran-ajaran Islam, terutama Al-Qur’an. Anggap saja, sebagai dasar analisis dari peristiwa sejarah maupun peristiwa sosial lainnya. Menurut Dawam Rahardjo, itu penting untuk mengimbangi orientalisme sarjana-sarjana Barat.
Kerangka pikir tersebut, mampu melahirkan gagasan mengenai sastra profetik. Sejak tahun 1982 Kuntowijoyo menengarai perlunya sastra yang melawan arus dehumanisasi sebagai dampak negatif dari modernisasi.
Jadi bisa dibilang, bahwa sastra tak hanya melihat manusia sebagai instrumen industri. Sastra juga tak terbatas pada ekspresi atau laku ibadah penulis belaka, tetapi juga punya kekuatan transformatik. Jadi, itulah penjelasan mengenai perbedaan sejarawan dengan sastrawan. Sudah paham kan?