Blangkon merupakan salah satu komponen pakaian adat Jawa, mungkin banyak yang belum paham perbedaan blangkon Yogyakarta dan Solo, meski sekilas sama, namun keduanya memiliki kekhasan yang bisa dengan mudah dibedakan. Nah agar kalian lebih paham baca lebih lanjut yuk
Sejarah Blangkon
Blangkon merupakan produk budaya masyarakat jawa yang menandai asimilasi budaya saat islam masuk ke nusantara. Pada masa dahulu, para sunan dan penyebar agama islam menggunakan ikat kepala berupa sorban. Sedangkan masyarakat Jawa saat itu menggunakan kain ikat kepala.
Blangkon kurang lebih ditemukan pada masa penemuan baju takwa di era Sunan Kalijaga, kita tahu sang sunan inilah yang kita kenal sebagai tokoh pertama Jawa yang mengenakan blangkon dan baju takwa. Berbeda dengan para wali lain yang mengenakan sorban dan jubah.
Blangkon Demak, atau blangkon Sunan Kalijaga merupakan blangkon yang lebih dulu ada sebelum era keraton Jogja dan Solo. Blangkon ini memiliki mondolan (benjolan di bagian belakang) dengan aksen sisa kain menjuntai.
Makna Simbolis Blangkon
Blangkon memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Islam Jawa, meski demikian, banyak yang tidak paham lho
- Wiron/wiru pada bagian depan blangkon berjumlah 17 yang melambangkan jumlah rakaat sholat
- Mondolan bermakna kebulatan tekad seorang lelaki dalam kehidupannya
- Cetetan bermakna selalu meminta pertolongan pada Tuhan
- Kamadha, yang berarti tidak membeda-bedakan
- Tanjungan sebagai penambah aura kaum adam
Perbedaan Pakem Blangkon Gaya Yogyakarta dan Solo
Sebagai dua kraton penerus kerajaan islam di tanah Jawa, Keraton Yogyakarta dan Surakarta memiliki pakem sendiri dalam melestarikan budaya ini, sehingga terciptalah perbedaan pakem blangkon. Apa saja perbedaannya
Mondolan
Cara paling mudah membedakan blangkon Jogja dan Solo adalah keberadaan mondolan. Benjolan di bagian belakang kepala ini hanya dimiliki blangkon gagrak Yogyakarta, pakem mondolan juga diteruskan oleh masyarakat Banyumas dalam gaya blangkon mereka.

Hilangnya mondolan karena mondolan awalnya merupakan rambut yang diikat saat menutup kepala, sementara pada era Blangkon Solo, masyarakat sudah mengenal cukur rambut yang diperkenalkan kompeni, inilah mengapa mondolan hilang dari gaya blangkon Solo.
Blangkon Solo dimulai Era Pakubuwono III

Kerajaan Mataram resmi terpecah di era Pakubuwono III ditandai dengan perjanjian Giyanti antara Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (kelak Sri Sultan Hamengkubowono I) dan Raden Mas Said (Mangkunegaran I)
Setelah perpecahan ini, Mataram dipisahkan menjadi Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta. Revolusi ini juga mengakibatkan perubahan budaya yang ada di Jawa. Di Solo sendiri, penggunaan mondolan era Demak berakhir.
Warna Blangkon
Jika diperhatikan lebih jauh, warna blangkon Yogyakarta dan Solo cenderung berbeda. Warna blangkon Solo cenderung berwarna cokelat keemasan, dari jenis kain batik sogan. Sementara gagrak Yogyakarta memiliki warna hitam atau biru tua dengan aksen coklat tua maupun putih.
Bentuk Jebeh
Jebeh adalah serbuk kayu yang diikat dengan kain yang digunakan untuk mengikat blangkon di bagian belakang. Jebeh gagrak Surakarta, menggunakan bentuk segitiga, sementara gaya blangkon Jogja menggunakan bentuk kupu-kupu.

Motif Blangkon
Motif turunan dari kedua jenis blangkon ini juga berbeda, blangkon solo memiliki motif keprabon, kesatrian, perbawan, dines dan tempen. Motif blangkon Jogja biasanya bermotif kumitir dengan jenis kain sesuai motif batik yang digunakan.
Wiru
Wiru atau lipatan kain pada blangkon awalnya berjumlah 17 sebagai simbol rakaat sholat umat Islam, namun saat ini jumlah lipatannya cenderung mengecil. Blangkon Solo umumnya hanya memiliki lipatan 1 sampai 3. Jumlahnya harus selalu ganjil. Hal yang sama berlaku untuk blangkon Yogyakarta, namun dengan lipatan yang lebih banyak
Bagian Depan dan Belakang
Dalam proses mengenakan blangkon, blangkon Solo dipakai cenderung rata ketinggian bagian depan dan belakang. Sementara blangkon Yogyakarta lebih tinggi di bagian depan, cara menggunakannya agak ditarik sedikit ke belakang.
Penggunaan Sliwir

Sliwir atau kain panjang di bagian belakang blangkon umumnya hanya dijumpai di blangkon gaya Demak, Banyumasan dan Yogyakarta, sementara gaya Solo cenderung tidak menggunakan sliwir.
Nah itulah 8 perbedaan blangkon Yogyakarta dan Solo, jika kalian berwisata ke salah satu kota ini, jangan sampai salah pilih jenis blangkon sebagai oleh-olehnya ya